Menjauh darimu bukanlah kemauanku

“Dari Ahmad bin Taimiyah,

 Untuk Ibunda yang berbahagia,

 semoga Allah menjadikan indahpandangan mata ibu melihat karunia Allah…”

Begitulah ibnu Taimiyah mengawali surat yang ia sampaikan kepada ibundannya tercinta. Dan bukan sekedar hendak menjelaskan tentang alasan kepergiannya untuk mengajarkan ilmu, tapi dalam surat yang terdiri lebih dari tiga ratus kata itu, secara khusus ia juga menyampaikan kerinduannya,
“…. Sekiranya ada burung yang bisa membawa,Niscaya aku akan terbang menemui engkau.
Tetapi orang-orang yang pergi,bersama dirinya pula melekat permintaan maafnya….”

Saudaraku,

Walaupun ibnu taimiyah seorang ulama besar, tapi kita yakin bahwa keilmuannya bukanlah satu-satunya guru yang mengajar kan arti cinta dan rindunya kepada sang ibu. Karena terkadang keilmuan tidak pernah mengajarkan kepada kita arti kerinduan. Tapi kebaikan ibu dan keindahan akan kenang-kenangan di masa lalulah yang telah mengajarkan ibnu Taimiyah akan arti kerinduan itu. Karena tabiat perasaan hanya hendak merasakan sesuatu yang indah dari masa yang telah berlalu. Sehingga kalau kita sempat berfikir untuk kembali pada saat-saat indah di masa lalu, maka ketika itu, sesungguhnya kita tengah merindu. Ya, begitulah jalan rindu yang kita pahami, jalan rindu yang berawal dari sebuah prasasti kenangan di masa lalu.

Tapi apakah kita tau tentang jalan rindu ibu terhadap kita anaknya? Sebuah jalan rindu yang berada diluar jalan rindu yang kita pahami. Jalan rindu yang tak mesti di dahului akan kebaikan dan keindahan di masa lalu. Tapi jalan rindu yang justru di dahului akan harapan baik dan indah di masa yang akan datang.

Seperti seuntai senyum bahagia seorang ibu kita dulu ketika mendengar kabar akan kehadiran kita yang telah bersemayam di dalam rahimnya. Ya, seuntai senyuman yang berangkat dari kerinduan akan harapan dan keyakinan bahwa hanya kitalah yang bisa membahagiakannya nanti. Sehingga wajar jika pada akhirnya semua pengorbanan ia kerahkan untuk keselamatan kita. Kalau sebelum mengandung ia boleh memakan apa saja yang ia sukai, maka ketika ia mengandung, ia akan rela jika ternyata ia harus memakan makannan yang mungkin sebenarnya ia tak menyukainya, hanya karena sebuah alasan, bahwa makanan yang dia makan adalah juga makanan yang terbaik buat kita yang di kandungnya. Karena dia telah merasakan kehadiran kita sebelum keberdaan kita, dan dia telah mencintai kita sebelum orang-orang mengenal kita.betapapun tidak, kalau sekiranya ketika itu kita meninggal (keguguran). pasti ibu, ayah dan semua keluarga kita akan menangis dan bersedih. Tapi apakah kita tau apa yang sebenarnya mereka tangisi? bapak dan keluarga kita mungkin akan menangis karena khawatir akan keselamatan ibu, tapi ibu kita?hanya Ia yang menagis dan bersedih karena meninggalnya kita, malaikat kecilnya. ia tidak lagi mempedulikan dirinya sebagaimana ayah dan keluarga mempedulikannya, ia hanya memikirkan kita, sosok makhluk yang dalam dugaannya akan bisa membahagiakannya, sosok makhluk yang dalam prasangkanya akan menjadi pelipur laranya dan penyejuk jiwanya.

Saudaraku,
Di antara harapan-harapan ibu kita, entah kita berada di mana? Adakah kita adalah sosok yang bisa membahagiakannya, ataukah kita termasuk sosok yang dalam prasangkanya akan menjadi pelipur laranya dan penyejuk jiwanya? Atau kita malah tidak ada di antara harapan-harapan dan parasangka-prasangkanya? atau bahkan kita malah telah membuatnya menangis sebelum kita mampu membuatnya tersenyum? Kita malah menjadi duka laranya sebelum kita menjadi pelipur laranya?

Tidakkah kita malu kepada Rasulullah saw, seorang makhluk yang tidak dibesarkan oleh kasih sayang seorang ibu dan perhatian seorang ayah. Tapi beliau mengerti bagaimana kita harus menjaga perasaannya dan menjadi penawar bagi kesedihannya. Sebagaimana nasihat yang pernah Beliau sampaikan kepada salah seorang sahabat yang telah membuat kedua orang tuanya menangis karena kepergiannya untuk hijrah, “Kembalilah kepada keduanya, buatlah keduanya tersenyum, sebagaimana kamu telah membuat keduanya menangis”.(HR. Bukahari)

Saudaraku,
Kalaupun rasulullah memerintahkan sahabatnya untuk kembali dari perjalanan mulianya (hijrah). Maka membahagiakan ibu dan ayah adalah semulia-mulianya perjalanan. Karena Rasulullah juga sadar, bahwa jalan cinta yang pernah mereka pernah tempuh, tidak akan pernah bisa terbalas dengan jalan cinta yang telah dan akan kita persembahkan, sekuat apapun kita mengusahakannya dan sebesar apapun kita mempersembahkannya. Sehingga wajar, jika pada akhirnya kita di ajarkan sebuah doa keputus asaan akan kekuatan untuk membalas semua kebaikan keduanya,
“Ya Tuhanku, ampunilah dosaku dan dosa ayah serta ibuku, kasihanilah mereka sebagaimana kasih mereka padaku sewaktu aku masih kecil”.

Saudaraku,
Sekiranya waktu dan takdir harus memisahkan antara kita dengan ibu kita, akankah kita masih merindukannya? Masihkan kita mendoakannya? Akankah kita berkata sebagaimana ibnu taimiyah pernah menulis pada di antara bait-bait suratnya, “…Sungguh, menjauh darimu bukanlah kemauan diriku”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *