Psikologi Ramadhan

Kalau dalam tulisan yang sebelumnya (karena Allah sayang kamu) dikatakan, bahwa ramadhan adalah cara, cara bagaimana Allah mendidik hambanya untuk menjadi lebih baik dan tidak nakal lagi. Maka itu adalah benar adanya, karena memang pernyataan tersebut berangkat dari firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.(QS. Al-Baqarah : 183)Karena pada akhirnya, taqwa bukanlah sekedar kebaikan sikap antara kita dengan Tuhan kita, tapi juga kebaikan sikap antara kita dengan sesama.

Dan adalah ramadhan merupakan sebuah metode yang Allah gunakan untuk mendidik kita menjadi baik dan lebih baik.

Kalau dalam kajian psikologi kita mengenal ada istilah reinforcement (peneguhan/penguatan). Sebuah istilah yang diusung oleh seorang psikolog amerika serikat  yang beraliran behaviorisme. Dia mengartikan, reinforcement ini adalah setiap konsekuensi atau dampak tingkah laku yang memperkuat tingkah laku tertentu. Atau Reinforcement juga dapat diartikan stimulus yang meningkat kemungkinan timbulnya respon tertentu.

Maka dengan demikian, ramadhan adalah satu bulan yang berbentuk reinforcement/bulan reinforcement. Sebab bulan Ramadhan sebagai satu stimulasi yang menguatkan psikologi Muslim untuk berbuat baik, menjadi baik dan mengamalkan apa-apa yang diperintahkan dalam Islam juga meninggalkan apa-apa yang dilarang di dalamnya.

Dan sekiranya skinner berpendapat bahwa reinforcement orang tua dalam mendidik anaknya membutuhkan dua metode, yaitu dengan ; punishment (hukuman) dan Reward (hadiah). Maka begitupula dengan ramadhan, ia juga menjajikan kepada kita dengan 2 hal tersebut. Tapi kita jangan sekali-kali mengatakan bahwa Allah telah mengadopsi metode reinforcement ini dari seorang skinner. Karena Ramadhan dan segala metode pendidikan Allah telah ada dan ditetapkan sebagai aturan sebelum skinner ada dan ditetapkan sebagai manusia.

1. Punishment (hukuman)

Pertama, berupa hukuman fisik (ancaman secara fisik)

Rasulullah saw pernah bercerita, “Ketika aku tidur, datanglah dua orang pria kemudian memegang dhahaya[1], membawaku ke satu gunung yang kasar (tidak rata), keduanya berkata, “Naik”. Aku katakan, “Aku tidak mampu”. Keduanya berkata, ‘Kami akan memudahkanmu’. Akupun naik hingga sampai ke puncak gunung, ketika itulah aku mendengar suara yang keras. Akupun bertanya, ‘Suara apakah ini?’. Mereka berkata, ‘Ini adalah teriakan penghuni neraka’. Kemudian keduanya membawaku, ketika itu aku melihat orang-orang yang digantung dengan kaki di atas, mulut mereka rusak/robek, darah mengalir dari mulut mereka. Aku bertanya, ‘Siapa mereka?’ Keduanya menjawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang berbuka sebelum halal puasa mereka.(waktu berbuka) .” [Riwayat An-Nasa’i dalam Al-Kubra sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf 4/166 dan Ibnu Hibban (no.1800-zawaidnya) dan Al-Hakim 1/430 dari jalan Abdurrahman bin Yazid bin Jabir, dari Salim bin ‘Amir dari Abu Umamah. Sanadnya Shahih]

Dan kalau untuk hukuman pertama ini kita sudah di buat takut karenanya, maka tentu kita tidak akan pernah berfikir untuk pernah meninggalkannya(puasa). Tapi jika keadaan atau suasana pada akhirnya memaksa kita untuk berfikir untuk membatalkan puasa dengan tanpa alasan yang jelas. Dan berkeyakinan bahwa kita bisa membayarnya di lain waktu. maka kitapun akan di hadapkan oleh hukuman yang kedua, yaitu :

Kedua, Hukuman mental

Dari Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang berbuka (tidak berpuasa) sehari di bulan Ramadhan tanpa adanya alasan (‘udzur) ataupun sakit, maka seluruh puasa yang dilakukannya selama setahun tidak dapat menimpalinya (membayarnya).” (HR. Bukhari secara Ta’liq)

Dan tentu saja secara mental kita akan berpikir dua kali jika hendak meninggalkan puasa dengan tanpa alasan yang jelas. Karena pada akhirnya, kita tidak akan pernah bisa membayar puasa yang telah kita tinggalkan. Maka mau tidak mau, kita harus menyelesaikan puasa ini dengan sempurna ketika memang tak ada alasan yang membolehkan kita membatalkannya.

Dan ketika memang pada kenyataanya kita tidak lagi meninggalkanya (puasa), ternyata tidak terhenti sampai di situ,  Allah pun kembali mengingatkan kita ketika kita tidak memaknainya (puasa) dengan hukuman yang ketiga :

Ketiga, hukuman secara fisik maupun mental (ancaman kesia-sian)

“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Ath Thobroniy dalam Al Kabir dan sanadnya tidak mengapa. Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 1084 mengatakan bahwa hadits ini shohih ligoirihi -yaitu shohih dilihat dari jalur lainnya).

Dan tentu kita tak ingin tersiksa secara fisik dengan lapar dan dahaganya, dan juga tersiksa secara mental karena tak bisa mendapatkan apa-apa (pahala) kecuali hanya kesia-siaan. lantas bagaimana agar kita tidak tersiksa secara fisik maupun mental?

Maka Allah menberikan jawaban melalui sabda nabi-Nya,

  • · Jangan berkata dusta

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari no. 1903).

  • · Menahan diri dari perkataan lagwu (sia-sia) dan rofats

“Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan lagwu dan rofats. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa”. (HR. Ibnu Majah dan Hakim. Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 1082 mengatakan bahwa hadits ini shohih) (Istilah rofats adalah istilah untuk setiap hal yang diinginkan laki-laki pada wanita.” Atau dengan kata lain rofats adalah kata-kata porno).

  • · Menjauhkan diri dari perbuatan maksiat.

Jabir bin ‘Abdillah menyampaikan petuah yang sangat bagus : “Seandainya kamu berpuasa maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu turut berpuasa dari dusta dan hal-hal haram serta janganlah kamu menyakiti tetangga. Bersikap tenang dan berwibawalah di hari puasamu. Janganlah kamu jadikan hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama saja.” (Lihat Latho’if Al Ma’arif, 1/168, Asy Syamilah)

2. Reward (Hadiah)

Dan selain hukuman, maka ramadhan juga menjanjikan banyak hadiah bagi orang-orang yang melaksanakannya. Dan diantara hadiah yang banyak itu, adalah sebagaimana yang tergambar dari firman-Nya,

“Setiap amalan kebaikan anak Adam akan dilipatgandakan menjadi 10 hingga 700 kali dari kebaikan yang semisal. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (yang artinya), “Kecuali puasa, amalan tersebut untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya karena dia telah meninggalkan syahwat dan makanannya demi Aku.” (HR. Muslim no. 1151)

Lihatlah, untuk amalan lain selain puasa akan diganjar dengan 10 hingga 700 kali dari kebaikan yang semisal. Namun, lihatlah pada amalan puasa, khusus untuk amalan ini Allah sendiri yang akan membalasnya. Lalu seberapa besar balasan untuk amalan puasa? Agar lebih memahami maksud hadits di atas, perhatikanlah penjelasan Ibnu Rojab berikut ini.  “Hadits di atas adalah mengenai pengecualian puasa dari amalan yang dilipatgandakan menjadi 10 kebaikan hingga 700 kebaikan yang semisal. Khusus untuk puasa, tak terbatas lipatan ganjarannya dalam bilangan-bilangan tadi. Bahkan Allah ‘Azza wa Jalla akan melipatgandakan pahala orang yang berpuasa hingga bilangan yang tak terhingga. Alasannya karena puasa itu mirip dengan sabar. Mengenai ganjaran sabar, Allah berfirman, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dibalas dengan pahala tanpa batas.” (QS. Az Zumar [39] : 10).

Dan akhirnya, ketika kita memang bisa dan mampu melakukan itu semua dengan sempurna, maka paling tidak minimal ada 3 kebaikan yang kita bisa ambil dari kebaikan ramadhan

Pertama, Menjaga lisan

bersama ramadhan kita bisa boleh belajar, bahwa kita sebagai umat islam sudah semesti duduk bersama dalam satu lingkaran persatuan dan bersama-sama membahas dan mencari solusi atas setiap permasalahan umat islam yang ada di sini bahkan di dunia ini. Baik itu masalah kemerosotan moral yang tengah marak terjadi atau bahkan masalah saudara kita di palestina. Ketimbang harus memperdebatkan permasalahan-permasalah yang memang sudah terjadi perbedaan di dalamnya. Terlebih ketika permasalahan tersebut hanya akan mengantarkan kita pada ucapan-ucapan yang hanya akan saling menyakiti satu sama lain.(ucapan yang sia-sia). karena pada akhirnya, segala peperangan dan pertumpahan darah yang terjadi di dunia ini, itu bermula dari lisan.

kedua, Bersabar

dan kalau hari ini kita mengenali diri kita sebagai seorang koruptor. maka ketahuilah, mungkin kita termasuk orang yang memang belum bersabar dalam memahami, bahwa kebahagia yang sebenarnya bukan pada uang yang menumpuk.

Dan kalau hari kita mengenali diri kita sebagai seorang penjinah, maka ketahui pula, bahwa kita mungkin belum bisa bersabar, sehingga harus menyegerakan kenikmatan tersebut dalam ketidak halalan.

Dan jika hari ini kita adalah seorang perampok, pencuri atau mafia dari beragam kejahatan. Maka sadarailah, mungkin kita belum bersabar dalam mencari rijki-Nya yang halal Karna pada akhirnya, bersabar adalah sumber dari segala kebaikan. Dan meninggalkannya adalah sumber dari segala kejahatan.

Ketiga, Berempati

Dan bersama ramadhan kitapun diajarkan untuk berempati dan bisa melihat sisi lain kehidupan tentang kehidupan orang-orang yang jauh secara materi di bawah kita dengan rasa lapar yang tengah kita rasakan ketika berpuasa.

Dan pada akhirnya ramadhan bukan sekedar hendak mengajarkan kita menjadi orang yang pandai berbicara kebaikan, dan tidak menjadi pelaku kerusakan. Tapi ramadhan juga mengajarkan kita untuk menjadi pelaku kebaikan. Salah satunya dengan adanya kewajiban berzakat setelahnnya.

Dan akhirnya, ramadhan adalah cara. Cara bagaimana Allah mendidik hambanya menjadi lebih baik dan tidak nakal lagi.

Wallahu a’lam bisshawab. By Chairil

Copyright Pesantren di Tasikmalaya : PONDOK PESANTREN KHZ MUSTHAFA SUKAMANAH.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *