Antara Aku Kamu dan Ramadhan Kita

Entah di ramadhan tahun ke berapa. Yang jelas ketika itu saya masih bekerja di sebuah perusahaan jasa parkir yang berkantor di daerah grogol. Dan berhubung saya hanya pegawai lapangan, maka pihak kantor menempatkan saya  di sebuah pusat perbelanjaan di daerah Jakarta timur yang letaknya hanya beberapa meter dari terminal yang katanya sebagai terminal terbesar di Jakarta.Dan walaupun Ramadhan kali itu sangat melelahkan, karena saya harus berpanas-panas ria menjaga tempat parkir. Tapi ada satu hal yang membuat saya haru sekaligus bersyukur. Ya, saya merasa bersyukur dan haru atas ketetapan perusahaan yang menetapkan satu aturan wajib yang harus di laksanakan oleh karyawan dan karyawatinya. Sebuah aturan yang berangkat dari penghormatan perusahaan terhadap bulan Ramadhan dan orang yang menjalaninya. Yaitu dengan mengharuskan berjilbab bagi karyawatinya dan berkopeah bagi karyawannya.

Kalau kita mau jujur dan melihat kebelakang ketika di masa era tahun 80 sampai awal tahun 90-an dimana jilbab masih menjadi barang yang sangat sulit. Ya, sangat sulit. Bukan karena ia sulit didapati, tapi sulit bagi seorang wanita untuk mengenakannya. Karena hampir semua instansi, baik negeri maupun swasta, di perusahan maupun di sekolah sepakat melarang pengenaan jilbab ini. Karena ketika itu jilbab ibarat bunga-bunga bermekaran buat yang meyakini kewajibannya, tapi jadi sayatan pedang bagi yang phobi terhadapnya.

Sehingga Banyak peristiwa antagonistik yang lahir dari sehelai kain yang kita mengenalinya sebagai jilbab. Tapi ada sebuah hal yang harus direnungkan bahwa konfigurasi jilbab saat ini adalah buah dari perjuangan orang-orang terdahulu yang ingin menegakkan panji Islam dinegeri yang kita cintai ini. mungkin kita bisa bertanya kepada mereka tentang sedihnya karena harus di keluarkan dari sekolah hanya karena alasan mereka yang tak mau menuruti perintah sekolah untuk melepaskan jilbabnya, atau tentang sakitnya dimaki-maki orang tua sendiri, juga tentang seorang tua yang tega membotaki kepala anak gadisnya dan membakar jilbabnya, atau tentang ibu yang mengusir anaknya yang tanpa daya, atau memasukkannya ke kandang ayam.(Lihat Buku Revolusi Jilbab Penulis : Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti) sehingga inilah maksud dari rasa syukur dan haru yang saya maksud ketika melihat kondisi saat ini.

Dan karena alasan satu dan lain hal, saya pun keluar dari perusahaan tersebut tepat di pertengahan bulan ramadhan. Dan selang beberapa bulan setelah saya keluar, saya pun kembali berkunjung ke tempat saya bekerja tersebut. Ada hal yang yang mengundang pertanyaan dalam benak saya ketika melihat semua rekan-rekan kerja wanita tempat saya bekerja dulu. yaitu sebuah pertanyaan, “kenapa mereka masih mengenakan jilbab, sementara Ramadhan telah lama berlalu??”

saya sadar, tak semestinya juga saya bertanya demikian, karena perintah berjilbab tak mengenal istilah waktu, apalagi sebatas ramadhan. Tapi pertanyaan itu berangkat dari sebuah kenyataan bahwa mereka berjilbab karena sebelumnya perusahaanlah yang mewajibkan. Sehingga alangkah wajar sekiranya mereka pada akhirnya harus menanggalkan jilbab karena perusahaan tak lagi mewajibkan. Dan ternyata mereka tetap memilih mengenakannya dan perusahaan tak melarangnnya.

Dan ketika saya tanyakan tentang alasan kenapa mereka masih berjilbab? mereka pun menjawab, “kebiasaan berjilbab di bulan ramadhan telah membuat kami malu untuk melepaskannya”. Hati saya berteriak subhanallah… saya merasa haru atas apa yang mereka katakan dan atas apa yang mereka lakukan. Terlepas dari ikhlas atau tidaknya mereka, saya tidak tertarik untuk menilai dari sisi tersebut. Karena hanya Allah yang berwenang untuk itu. Yang jelas mereka tampak tetap terlihat baik selepas kepergian bulan yang baik (Ramadhan)

Begitulah sepenggal cerita baik yang pernah ditingalkan ramadhan bagi sebagian wanita di belahan keramaian kota Jakarta. Sebuah kota yang mungkin dalam asumsi sebagian kita masih jauh dari nilai-nilai kebaikan. Tapi ternyata apa?? Ternyata Ramadhan tak pernah pilih kasih dalam menebarkan setiap kebaikan dan keberkahannya. Ia berikan semua kepada orang yang memang mau membuka hati dan diri untuknya.

Mungkin seperti kesediaan para sahabat untuk membuka diri akan pesan Abu bakar ketika rasulullah meninggalkan mereka. ” Siapa diantara kalian yang menyembah Muhammad (Rasulullah), maka Muhammad sudah wafat. Tapi barangsiapa menyembah Allah SWT maka Allah SWT itu hidup dan tidak akan mati.

Dan kini, ramadhan telah berlalu meninggalkan kita. akankah dengan berlalunya ramadhan, itu juga harus membawa segenap kebaikan yang telah kita bangun bersamanya?. Padahal semestinya, seperti juga abu bakar dan para sahabat dalam memahami kepergian Rasulullah, mereka terus berupaya membangun kebaikan yang mereka pernah bangun bersama Rasulullah. Maka seperti itu pula kita mesti memahami kepergian ramadhan ini. Juga dengan terus berupaya membangun kebaikan yang pernah kita bangun bersama ramadhan.

Karena pada akhirnya, yang Abu Bakar dan yang kita sembah bukanlah Rasulullah atau Ramadhan, tapi hanya Allah saja. Dan sebagaimana Abu Bakar, kita juga tidak menyembah-Nya hanya sebatas ketika Rasulullah masih ada dan ketika ramadhan masih bersama kita. Tapi, sebatas usia dan ketika kehidupan itu masih ada bersama kita, sebagaimana Allah pernah berfirman, “Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al yaqin (yakni ajal).” (QS. Al Hijr: 99). Ibnu ‘Abbas, Mujahid dan mayoritas ulama mengatakan bahwa maksud “al yaqin” dalam ayat tersebut adalah kematian. Kematian disebut al yaqin karena kematian itu sesuatu yang diyakini pasti terjadi.

Saudaraku,

Seperti juga Rasulullah, Beliau saw pernah datang dengan segala pesan dan kebaikannya. Lalu ia kembali pergi dengan meninggalkan pesan kepada kita untuk tetap menjaga kebaikan itu sehingga bisa menjadi bekal kita selama hidup. Maka seperti itu juga ramadhan, ia datang dengan dengan segala kemuliaan dan kebaikan, untuk menjadi kebaikan dan bekal kita di sebelas bulan berikutnya

Dan hari ini, marilah kita kembali bertanya. Diantara aku, kamu dan ramadhan kita. adakah sepenggal cerita baik yang ditinggalkan ramadhan kepada kita sebagaimana kebaikan yang pernah ia tinggalkan kepada sebagian wanita ibukota itu?

Wallahu ‘alam bisshawab. By: Chairil

Copyright Pesantren di Tasikmalaya : PESANTREN KHZ MUSTHAFA SUKAMANAH.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *