Harmoni cinta sufi

Rabiah Adawiyah Sebagai Model

“Dari kamar hampa dan sempit itu, bukan jasad yang berpetualang, melainkan jiwa suci yang terbang melayang”

Prolog

Sesuatu yang disebut cinta, dalam pemaknaan luas, telah dikenal manusia sejak manusia pertama; nabi Adam AS. Sejumlah ulama menjabarkan makna cinta, sebagian menerangkan sifat dan karakternya dan beberapa juga mengkisahkan kedahsyatannya. Selanjutnya akan dijelaskan bagaimana cinta dalam dualis zaman; pra Islam dan pasca Islam.

Pada zaman pra Islam, terutama zaman jahiliyyah, cinta merupakan pembahasan yang paling disoroti para penyair. Demikian sebab ia merupakan wujud kekaguman dan keindahan. Bahkan lebih dari itu, kebanyakan penyair menjadikannya sebagai perantara atau mukadimah sebelum menyampaikan essensi inti puisinya. Hingga hampir seluruh puisi pada zaman jahiliyyah membahas keadaan seseorang yang sedang jatuh cinta.

Pada zaman nabi SAW, cinta mengalami pemaknaan yang luas. Ia tidak hanya berarti sebuah perasaan antara dua insan, tetapi hubungan antara semua mahluk hidup. Hal tersebut akan terasa ketika kita mengamati keadaan Madinah pada masa itu. Ketika itu, keadaan Madinah juga tidak luput dari dualisme; kaya, miskin, tuan, hamba, bahkan dihuni oleh dua golongan yaitu kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Kesepadanan kehidupan  di Madinah terbentuk karena ada ikatan kuat yang menyatukan mereka, ikatan itu berasaskan cinta. Nabi yang mengajarkan bagaimana seharusnya sesama muslim saling mencintai, bukan sekedar ucapan tapi lebih mengaplikasikannya dalam ranah praktek.

Bahkan dalam suatu Hadis menceritakan bahwa seseorang tidak bisa merasakan indahnya keimanan sebelum ia mencintai sesama muslim.[1] Demikian indah ajaran nabi Muhammad SAW yang mempresentasikan Islam agama yang rahmatanlil`âlamîn.

Pada abad ke-dua terma cinta mendapatkan pendalaman makna dalam Islam, atau yang lebih spesifk dalam dunia para sufi. Bahkan sejak itu menjadi bagian penting dari tahapan perjalanan spiritual sufi. Cinta yang demikian yang merupakan titik pembahasan yang menjadi fokusan dalam tulisan ini.

Rabiah Adawiyah; Sebuah Paparan Historis

Membahas perihal cinta sufistik yang terlahir pada abad ke-2 M menuntun kita untuk mencari sosok dibalik kelahiran corak tersebut. Dari sekian nama yang didapatkan, nama yang paling sering dan lebih cenderung dinisbatkan dengan kelahiran cinta bagi para sufi adalah Rabi’ah Adawiyah.

Selintas perbincangan mengenai nasab Rabiah Adawiyah atau yang lebih tepat Rabi’ah Qaisiyah. Merupakan keturunan bani Qais dan menjadi maula âli `Atik yang merupakan keturunan bani `Adwah. Tersebut kemudian nama Adawiyah  dinisbatan  kepadanya. Hingga akhirnya ia lebih dikenal dengan nama Rabiah Adawiyah daripada Rabiah Qaisiyah.

Daerah Basrah merupakan tanah kelahirannya. Dari segi geografis daerah Basrah dikelilingi oleh lautan dan sungai. Keadaan tersebut turut menyokong perkembangan peradaban daerah tersebut perdagangan dari Hindia dan Cina. Dengan demikian, terjadi komunikasi bahkan akulturasi dalam Basrah. Selain itu, ia menjadi sarana transportasi terutama dari Baghdad.

Kota Basrah tergolong kota yang banyak ditorehkan dalam catatan sejarah Islam. Ketika Baghdad yang menjadi pusat pemerintahan Abasiyah, kota Basrah turut menjadi pusat perkembangan ilmu dan peradaban. Bahkan salah satu pasar disana disandingkan dengan pasar Ukadz pada zaman jahiliyyah dari segi pengaruhnya bagi para penyair.

Ukadz merupakan suatu daerah di Makkah yang menjadi tempat berkumpul para penyair dari seluruh jazirah Arab. Berdasarkan tradisi Arab, pasar ini akan ramai dikunjungi pada musim berhaji. Pada saat itu, para petinggi kabilah Arab turut meramaikan perniagaan. Selain perniagaan para penyair berlomba-lomba untuk menyuarakan puisinya dengan berbagai maksud dan tujuan, seperti kebanggan untuk kabilahnya, ancaman hingga pujian untuk para pepguasa daerah atau dengan kata lain untuk mendapatkan hadiah dari mereka. Demikian  pasar ini kemudian menjadi tempat berkumpul para tokoh besar dan juga ahli riwayat. Sebab itu, pasar ini disebut sebagai pusat peradaban dan pengetahuan perihal masa jahiliyyah.

Suasana tersebut juga terjadi  dalam pasar Mirbad. Pasar ini kemudian menjadi tempat bertemu para penyair yang saling mendendangkan puisinya dengan pelbagai tema, seperti rintihan, pujian, dan juga hinaan. Dengan nuansa islami yang terserap dalam puisi tersebut. Perhatian yang diberikan para penyair bahkan ulama pada pasar ini menjadikannya dinamakan pasar ukadz yang islami dan membuat namanya lebih dikenal daripada pasar lainnya.

Selain para penyair, para Ulama juga mengadakan halakah ilmiyah di masjid. Masjid yang juga berfungsi sebagai madrasah atau transmisi ilmu, dari sana kemudian terlahir ulama-ulama ternama terutama dalam linguistik. Seperti Abu Aswad ad-Duwali, `Isa bin Umar, Anbasah bin al-Fil dan Yunus bin Habib. Abu Aswad ad-Duwali termasuk dalam tokoh utama yang merumuskan kaedah-kaedah dasar dalam gramatikal bahasa Arab atau ilmu Nahwu.[2]

Demikian semakin dikuatkan dengan keadaan masjid pada saat itu. Dari sana banyak terlahir ulama-ulama yang kompeten dibidangnya. Sedangkan dari segi bangunan juga menunjukan kemajuan sentuhan seni dalam bidang arsitektur. Demikianlah keadaan ilmu pengetahuan dan arsitektur daerah Basrah pada masa tersebut.[3]

Perkembangan gerakan ilmiyah yang pesat juga diiringi dengan peningkatan gerakan ibadah dibelahan Basrah lainnya. Sebut saja masjid al-jâmi, disana terdapat komunitas yang merenungi kehidupan dan menyibukkan diri dengan ibadah. Mereka berkonsentrasi dengan permasalahan akhirat dan tidak sedikitpun menoleh pada godaan duniawi.

Bila kita kembali ke Basrah pada saat itu, maka disudut kota kita akan mendengar seruan para ulama yang membahana membahas tentang ilmu tertentu. Sedangkan disisi lain kita juga merasakan rintihan tangisan kaum yang tenggelam dalam lautan ketaatan dan ibadah. Dualisme yang terjadi membuat simfoni keindahan yang menghiasi kota Basrah saat itu.

Dari sudut lain dari kota Basrah, di rumah kecil yang tidak berisi perlengkapan apapun selain satu buah gantungan baju. Bukan hanya ruangan itu saja yang kosong, hanger tersebut juga tidak berisi apapun. Yang tergantung disana hanya sebuah kain kafan.[4]

Seorang wanita mendiami rumah tersebut. Dari tempat kecil tersebut ia melanglang buana menelusuri curamnya jurang dan terjalnya bukit untuk  mencari ‘cinta’. Dari kamar hampa dan sempit itu, bukan jasad yang berpetualang melainkan jiwa suci yang terbang melayang. Demikian suasana yang terdapat dalam ruangan kecil yang dihuni Rabiah Adawiyah.

Pembahasan perihal sejarah kehidupan seseorang tidak akan terlepas dari dongeng dan cerita fiksi. Terutama membahas periwayatan tokoh yang tidak meninggalkan manuskrip ataupun tulisan apapun perihal kehidupan atau ilmunya. Semisal tokoh utama yang akan kita bahas saat ini. Keadaan demikian semakin diperkeruh dengan keadaan masa tersebut yang banyak meriwayatkan cerita fantasi dan fiksi maka akan sulit dicari kebenaran fakta dari fiksi. Seperti berbagai cerita yang terdapat dalam kisah seribu satu malam.

Bertolak dari keadaan yang demikian, tidak mengherankan bila kita akan dihadapkan dengan pelbagai perbedaan perihal kisah kehidupan Rabiah Adawiyah. Minimnya referensi yang menceritakan tentang kehidupannya kecuali dalam bentuk riwayat membuat perjalanan hidup Rabiah tergambar melalui analisa-analisa yang diangkat para penulis. Bahkan terdapat kontradiksi dalam beberapa hasil analisa, keadaan ini berbeda dengan para ahli riwayat klasik. Mereka memilih untuk memaparkan data tanpa dicampuri pandangan penulis seperti al-Jahidz, Ibn Khalkan, Ibn al-Jauzi, Al-Quyairi dan yang lainnya.

Rabi’ah lahir pada pertengahan abad ke-dua hijriah. Tidak dapat dipastikan tanggal bahkan tahun kelahirannya. Sebab tahun kelahirannya tidak mendapatkan sorotan yang meriah seperti beberapa peristiwa lainnya dalam kehidupannya.

Penamaan dan penisbatan nasab Rabiah juga tidak terlepas dari problematika perbendaan pendapat. Dalam al-Bayan wa al-Tabyin, tulisan pertama yang mengenalkan tentang Rabiah, jahidz menyebut Rabiah dengan nama Rabiah al-Qaisiyah. Berbeda dengan periwayatan lainnya, meskipun ia menyebutkan bahwa Rabiah yang ia maksud adalah seorang tokoh Tasawuf terkemuka di Basrah, dia tidak pernah sekalipun menyebutnya dengan Rabiah al-Adawiyah.

Pada abad yang sama juga terdapat seseorang lagi yang dipanggil Rabiah, yaitu istri Ahmad bin al-Hawari, seorang sufi ternama dari Syam. Selain itu, di waktu yang hampir berdekatan pula kembali muncul nama Rabiah al-Adawiyah. Seorang sufi dari mesir. Untuk menjernihkan pembahasan tokoh utama, perlu kiranya ditelusuri masa kehidupan ketiganya.

Dalam suatu riwayat, Ketika dalam perjalanan di atas kapal yang sedang melintasi sungai nil, Dzunnun al-Masry  dikisahkan memperkenalkan jalan taubat kepada seorang wanita yang bernama Rabiah al-Adawiyah.[5] Riwayat demikian dianggap palsu sebab kenihilan pertemuan Dzunnun dengan Rabiah karna masa kehidupan mereka berjauhan. Analisa demikian bisa diterima bila yang dimaksud adalah Rabiah yang berasal dari Basrah atau Syam, tapi hal itu kemudian menjadi sebuah titik terang bila dinisbahkan ke Rabiah al-Adawiyah yang berasal dari Mesir. Diantara sebab kenihilan penisbatannya ke Rabiah pertama sebab ia tidak pernah meninggalkan kota Basrah kecuali berhaji seperti yang akan dijelaskan nanti, pertemuan antaranya dengan tokoh terkemuka Tasawuf seperti Riyah al-Qaisy sebab kunjungannya ke Basrah. Begitupun halnya dengan Rabiah yang kedua. Dengan demikian, dapat ambil benang merah bahwa Rabiah yang berasal dari Mesir hidup pada pertengahan abad ke-tiga sesuai dengan riwayat yang diceritakan diatas.

Sedangkan masa kehidupan Rabiah yang berasal dari Syam bisa ditelisik dari riwayat kehidupan Ahmad bin al-Hawari yang hidup sekitar tahun 148-230 H.[6] Tidak banyak kemudian riwayat yang menceritakan tentang kehidupannya selain yang berhubungan dengan Ahmad bin al-Hawari. Meski demikian bisa diperkirakan masa kehidupan Rabiah Syamiyah adalah pertengahan abad ke-dua hingga abad ke-tiga.

Adapun masa kehidupan Rabiah yang menjadi tokoh dalam pembahasan ini dapat disinkronisasikan dengan riwayat-riwayat yang menceritakan pertemuannya dengan beberapa sufi seperti Hasan Al-Bisri yang meninggal tahun 111 H, dan kedekatannya dengan Riyah al-Qaisy yang mendatangi Basrah pada tahun 155.[7] Meskipun tidak bisa dipastikan tahun kelahirannya, tapi ia diceritakan lahir pada saat Hasan al-Bisri mulai majelis ilmunya sekitar tahuan 95-96 H. Dengan demikian bisa diambil kesimpulan bahwa Rabiah al-Qaisiyah hidup pada akhir abad pertama hingga pertengahan abad ke-dua. Kedekatan masa kehidupan antara ketiganya akhirnya membuat rancu periwatan tentang mereka terutama Rabiah Syamiyah dan Rabiah Bashariyah.

Rabiah terlahir dari keluarga yang miskin. Suatu kali ia pernah berkata kepada ayahnya: wahai ayahku, janganlah pernah engkau memberi makan kami dengan nafkah yang haram. Kemudian ayahnya bertanya: bagaimana bila saya tidak mendapatkan apapun kecuali sesuatu yang haram? Ia menjawab: bersabar dengan kelaparan didunia lebih baik daripada menahan sakit api neraka.[8] Dari percakapan diatas menggambarkan kelemahan finansial bahkan sampai batas yang paling sulit. Ucapan ayahnya mengungkapkan kesusahan mereka dalam kehidupan.

Bahkan dalam riwayat lain disebutkan bahwa diantara indikasi yang menjadikannya seorang hamba sahaya adalah kefakiran keluarganya atau sebab perpecahan yang terjadi di daerahnya. Meskipun masih terdapat beberapa pendapat lain, tapi tidak bisa keterpurukan keadaan keluarganya yang berpengaruh penting dalam perkembangannya.

Kemudian ia menjadi hamba sahaya Bani Adwah merupakan  ali `Atik  yang bila ditelusuri silsilahnya sampai pada Sam bin Nuh. Dari sebab inilah kemudian ia lebih dikenal dengan nama Rabiah al-Adawiyah.

Pasca kebebasannya dari bani Adwah, dianggap sebagai masa yang rancu dalam kehidupannya. Demikian sebab dalam masa ini beberapa riwayat menyebutkan bahwa ia terlena dengan kemegahan dan kenikmatan dunia. Bahkan sebab desakan keadaan, ia menjadi seorang pegiat seni. Masa-masa suram inilah yang kemudian membuatnya selalu ketakutan bila mengingat api neraka dan mendorongnya untuk menghabiskan sisa usianya dalam taubat.[9]

Beberapa hal yang membantunya untuk kembali sadar dan merujuk ke dua ibadah adalah kenangan masa kecilnya, pengalaman hidupnya dan  juga pertemuannya dengan Rayah al-Qaisi. Ia yang membawa dan menyelamatkan Rabiah dari kelalaiannya. Hal inilah yang menunjukan kedekatan hubungan antara keduanya. Sedangkan pengalaman hidupnya selama masa kelam tapi membuatnya menyadari makna terdalam dari cinta.

Ketika ia ditanya, “kapan seseorang bisa merasa ridha terhadap ketetapan Tuhan?”  Ia menjawab : ”ketika ia merasakan kebahagiaan dalam musibah  seperti ketika ia gembira ketika mendapatkan kenikmatan”.[10] Bila perjalanan hidupnya memang demikian, maka jawabannya atas pertanyaan diatas berlandaskan pengalaman pribadi Rabiah atas kesalahan masa lalunya bukan sekedar teori dan rumusan.

Setelah jiwanya kembali dari masa tersebut, ia lebih giat menyibukkan dirinya dengan pendekatan Tuhan. Ibadah yang kontinyu dilakukan bukan hanya yang wajib dan sunnah. Al-Badawi memandang semua yang dilakukan Rabiah adalah sebuah bentuk taubat yang berlanjut. Argumentasi yang demikian sebab ketika Rabiah ditanya seseorang perihal taubat, ia berpendat bahwa diterima atau tidaknya taubat seseorang adalah hak Tuhan. Maka seharusnya taubat dilakukan seumur hidup seperti taubat Rabiah menurut al-Badawi.

Adapun kesehariannya, seperti yang diceritakan pelayannya, ketika ia terbangun ia loncat dari pembaringannya sambil berkata “wahai jiwa berapa lama engkau tidur dan sampai kapan engkau akan tidur tidak lama lagi engkau akan tertidur dan hanya akan dibangunkan dengan suara terompet hari kiamat” Ia terus berkata demikian sampai ia meninggal.[11]

Sedangkan malam hari ia gunakan untuk terus shalat dan berzikir hingga fajar. Ketika malam sudah larut, ia berdiri di atas rumahnya sembari berkata : “ketika malam telah sunyi, kegiatan telah berhenti, dan seluruh pecinta berduaan (khalwat) dengan yang ia cintai, aku datang untuk berkhalwat denganMu.”[12]

Demikian keseharian Rabiah. Dalam bersosialisasi, indikasi kedekatan Rabiah dengan beberapa sufi terkenal dizamannya tergambarkan lewat riwayat yang menceritakan perihal diskusi mereka. Diantara riwayat tersebut adalah sekelompok golongan datang menemui Rabiah untuk berdiskusi, diantara mereka adalah Sufyan ats-Tsauri. Selepas berdiskusi dia meminta kepada seorang pelayannya untuk tidak kembali mengizinkan mereka bila mereka datang kembali sebab mereka cenderung mendiskusi masalah dunia. Meskipun diakhir riwayat ini dia menyebutkan demikian, tapi dari indikasi riwayat diatas bisa diambil benang merah bahwa Sufyan ats-tsauri dan Rabiah Adawiyah hidup dalam masa yang berdekatan bahkan mereka pernah bertemu dan berdiskusi.[13]

Perjumpaanya dengan Abdullah bin Isa juga bisa dicapai dengan pendekatan riwayat, Abdullah bin `Isa pernah meriwayatkan keadaan Rabiah ketika dibacakan ayat al-Qur’an yang berisi perihal Neraka. Begitupula pertemuan Masma’ bin Ashim dan Riyah al-Qaisy dengan Rabiah yang tersirat dari periwayatan mereka tentang Rabiah.[14]

Diantara karamah yang dikaruniakan kepadanya adalah hewan yang memenuhi kebutuhannya. Dari riwayat yang dinisbatkan ke Abdullah bin Isa, ketika Rabiah sedang memasak, ia memerlukan bawang putih untuk masakannya, datanglah seekor burung yang menggenggap bawang putih dicelah kakinya dan menyerahannya pada Rabiah.[15] Selain itu, ketika rumah, atau yang lebih tepay disebut ruang sempit, yang dihuninya didatangi seorang pencuri, ia tidak mendapatkan apapun dari dalamnya. Sebelum ia keluar, Rabiah kedatangan ‘tamu’ tersebut dan mempersilahkannya untuk mendirikan shalat. Pada saat yang sama Rabiah memohon kepada Tuhan untuk memberikan hidayahNya untuk ‘tamu’ tersebut. Ketika ia menyelesaikan shalatnya, matanya telah basah dengan air mata penyesalan dan ia bertaubat.[16]

Ketika ia sakit, seseorang bertanya perihal penyakitnya, ia menjawab aku melihat surga dengan hatiku dan itu membuatku sakit. Perihal  wafatnya, beberapa pendapat seperti yang termaktub dalam wâfiyat al-‘a`yân, syudzûr al-ûqûd dan beberapa lainnya menyebutkan ia wafat pada tahun 135 H. Sedangkan al-wâfî bi al-wâfiyat menyuarakan tahun 185 H meski ada yang berkata tahuan 180 H. Dalam mu’jam as-sufiyah dan al-bayân wa at-tabyîn dituliskan Rabiah wafat pada tahun 153 H.

Dalam munajatnya dengan Tuhan, ia berusaha menciptakan suasana yang lebih dekat. Bukan sekedar hubungan antara ciptaan dan pencipta, bukan untuk surga dan neraka tapi untuk hakikat dirinya dan Tuhan.

Demikian sekelumit perbedaan perihal wafat Rabiah. Diantara penyebab perbedaan tersebuta adalah pada saat itu juga terdapat seorang wanita yang bernama Rabiah, istri Ahmad ibn al-Juwari, seorang sufi dari Syam. ia meninggal pada tahun 153 dan dikuburkan di gunung al-Thûr. Riwayat keduanya kemudian menjadi rancu dengan membawa pertanyaan apakah Rabiah yang dimaksud diatas merupakan sosok sama atau bukan, hal ini yang menimbulkan kerancuan dalam periwayatan. Tersebut hanya sebagian kecil dari perbedaan pendapat dalam kisah hidup Rabiah.

Dalam dunia tasawuf, ia termasuk sufi pertama yang mengangkat tema cinta dalam hubungan bathin antara manusia dengan Tuhan. Dia beraktualisasi dengan beberapa beberapa sufi lainnya seperti Hasan al-Bisri, Sufyan ats-tsauri, Malik bin Dinar dan Ribah al-Qaisy, mereka saling bertukar fikiran dan pendapat terutamaama pandangan Rabiah tentang terma cinta yang ia bawa. Diantara beberapa kutipan yang dinisbatkan kepada Rabi’ah adalah “Andai Tuhan tidak menciptakan surga dan neraka, Tuhan tetap wajib disembah”. Ungkapan demikian dipahami sebuah kesadaran untuk menyebah Tuhan sebagai dzat yang harus disembah bukan sebab ketakutan akan neraka dan ingin menggapai kenikmatan surga. [17]

Kesadaran seperti inilah yang dituangkan Rabiah dalam cintanya kepada dzat yang dicintaiNya.Rabi’ah membahas cinta yang kemudian dihubungkan dengan ikatan Tuhan dan manusia. Ia kemudian mempraktikannya dalam perjalanan spiritualnya.

Selayang Pandang tentang Tasawuf

Tasawuf, suatu kegiatan berhubungan dengan ruh dan jiwa. Merupakan sebuah bentuk seperti  meditasi untuk menentramkan diri dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Beberapa hal yang kerap dilakukan ketika menyendiri seperti muhasabah diri dan merenungi hakikat kehidupan, baik yang berhubungan dengan diri sendiri atau ,dalam jangkauan luas, yang berhubungan dengan alam semesta.

Pada mulanya ia merupakan suatu kegiatan rohani dan sebuah tradisi yang tidak dilembagakan. beberapa tokoh meyakini bahwa tasawuf sudah dikenal sejak masa primordial. Bahkan Nabi sendiri juga menerapkannya dan melakukannya.

Sebelum dianggkat menjadi Rasul, nabi Muhammad SAW juga kerap melakukan meditasi spiritual. Seperti yang diketahui ihwal turunnya surat al-`Alaq ayat 1-5 sebagai wahyu pertama, ketika ayat tersebut turun nabi sedang menyendiri di gua Hira’. Begitupun keadaan Nabi setelah menjadi Rasul, seperti yang dikisahkah istri Rasul. Meski nasib periwayatannya tidak semujur nasib periwayatan Hadis dan Sunnah tetapi beberapa keterangan jelas menyebutkan bahwa Nabi kerap memanfaatkan beberapa hari untuk menyendiri.

Seperti halnya periwayatan ihwal tasawuf masa Nabi, begitu pula masalah kisah tokoh-tokoh yang menerapkannya dalam kehidupan. Dari gambaran umum pada abad pertama, ia adalah merupakan sebuah bentuk meditasi yang diindikasikan dengan sikap yang cenderung meninggalkan perihal dunia dan mencari kebahagiaan akhirat atau yang disebut zuhud dan wara’.

Demikian ia adalah suatu sikap yang diambil untuk mengalihkan fikiran dari kenikmatan dunia yang fana, dengan segala tatanan praksisnya, dan cenderung mempersiapkan diri untuk menyambut akhirat, hidup yang kekal. Dengan begitu, secara tersirat tergambar bahwa tokoh yang menjalankan tasawuf akan lebih mengutamakan kesengsaraan yang bernilai ‘pahala’ daripada kenikmatan berisi ‘dosa’. Hal tersebut yang membuat mereka berhati-hati dalam bersikap dan mengambil keputusan.

Ironisnya sikap tersebut modern ini banyak dipersoalkan dengan penafsiran-penafsiran yang melenceng hingga akhirnya potret tasawuf yang ada adalah suatu kegiatan yang berimbas mafsadah bukan maslahah, musibah bukan manfaat. Dengan kesalahpahaman yang terjadi tasawuf kerap dianggap kegiatan yang bukan terlahir dari Islam.

Oleh: Abdul Ghani

Copyright Pesantren di Tasikmalaya : PESANTREN KHZ MUSTHAFA SUKAMANAH.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *