Mau Kaya Selamanya Atau Miskin Selamanya?
Menjadi kaya adalah harapan semua orang, dan benar-benar menjadi kaya itu tergantung pada bagaimana cara kita memaknai dan meraih kekayaan tersebut.
Sehingga kalau benar cara kita, maka kayalah kita selamanya. Dan kalau salah cara kita, maka miskinlah kita selamanya.Dan adalah Allah juga rasulNYA sebenarnya menaruh harapan besar untuk kita menjadi kaya dalam makna sebenarnya dan dalam rentang waktu selamanya. tentu dengan memberikan caranya.
Tapi sebelum kita ngebahas lebih jauh, alangkah lebih baiknya kita kembali memahami definisi kaya yang sebenarnya.
Kaya adalah berkecukupan. sehingga kalo ada yang bilang “dia orang kaya”, itu artinya “dia adalah orang yang berkecukupan”.
Kenapa harus berkecukupan ??
Karena kalau saja definisi kaya itu ada pada banyaknya harta, mewahnya mobil, atau megahnya rumah. kenapa juga mesti ada aja cerita tetang anggaran negara yang digelembungkan. Uang rakyat yang digelapkan atau pencucian uang yang justru dilakukan oleh orang yang konon katanya memiliki ketiga fasilitas diatas ??
lantas apa bedanya mereka dengan seorang ibu yang tertangkap tangan mencuri susu formula di mini market lantaran alasan menyambung hidup si buah hati, atau seorang ayah yang tertangkap tangan mencuri ayam lantaran alasan keluarganya belum makan?
Ya, intinya keduanya tak berbeda, sama-sama belum berkecukupan atau sama-sama belum kaya atau bisa kita katakan mereka sama-sama miskin. Dan kalau pengertian kaya adalah berkecukupan. Maka apakah mungkin setiap kita bisa kaya sementara kita tau yang namanya manusia itu tidak ada cukupnya? Atau kalau dalam Hadits Nabi dikatakan, “Seandainya manusia diberi dua lembah berisi harta, tentu ia masih menginginkan lembah yang ketiga. Yang bisa memenuhi dalam perut manusia hanyalah tanah. Allah tentu menerima taubat bagi siapa saja yang bertaubat..” (HR. Bukhari no. 6436)
Kalau kita melihat kepada teks tersebut, tentu tak ada alasan untuk kita menjadi kaya (berkecukupan). Tapi kalau kita mau menelaah lebih dalam, sebenarnya itu adalah satu ungkapan atau berita “bahwa begitulah nafsu dasar manusia jika tidak bisa dibatasi oleh aturan-aturan Tuhan. Maka hanya takdir Tuhan yang bisa membatasinya. Yaitu dengan dikembalikannya kita ke tanah (kematian)”
Sehingga itulah kenapa di kelanjutan hadits dikatakan “Allah tentu menerima taubat bagi siapa saja yang bertaubat..” ini artinya, ada harapan besar Rasulullah untuk kita untuk bertobat dan kembali kepada aturan-aturan Allah, sebelum kita dikembalikan kepada Allah.
Yang jadi pertanyaan selanjutnya adalah apa sebenarnya yang aturan Allah yang bisa menjadikan kita cukup atau berkecukupan (kaya) ?
Jawabannya adalah dengan sikap merasa cukup dengan pembagian rezeki yang diberikan Allah, atau yang lebih kita kenal dengan istilah qona’ah.
Karena cukup itu relatif, tapi merasa cukup (Qona’ah) hanya mengenal satu rasa, satu makna dan satu bahasa.
Gaji boleh sama, tapi efeknya kadang berbeda-beda. Di satu sisi ada yang bersyukur tapi di sisi lainnya justru mengeluh. Karena cukup menurut orang itu berbeda-beda(relatif). Kecuali jika kita mau menyeragaminya dengan qona’ah. Dan gaji boleh berbeda-beda, tapi semuanya bersyukur, karena semua hasil di tiap orang diikat oleh sebuah simpul yang bernama qona’ah.
Qona’ah bukan lah sebuah pemahaman yang menjadikan kita pemalas dan enggan bekerja keras. Karena antara qona’ah dan kerja keras merupakan dua sisi yang berbeda. kerja keras yang mengawalinya dan qona’ah yang mengahiri hasilnya.
Dan qona’ah bukanlah monopoli orang yang bergaji pas-pasan sebagai hiburan termanis di kondisi terpahit, tapi juga solusi terbaik di kondisi terbaik agar tetap berada dalam kebaikan.
Karena sekaya apapun seseorang secara materi tetap saja harus bersikap qona’ah sebagai upaya buat mereka agar tidak terjatuh pada jurang kemiskinan yang sebenarnya. Karena para koruptor yang notabene kaya secara materi, justru sebenarnya miskin ketika mereka harus mencuri uang rakyat hanya karena sebuah kenyataan mereka belum merasa cukup atau belum berkecukupan (miskin). Sehingga ketika aturan-aturan Allah tak pernah bisa menyudahi ketamakannya, maka takdir Allah lah yang akan menyudahinya dengan kematian. Dan ketika kematian telah mengkhirinya, maka sesungguhnya itu adalah awal bahwa ia harus memasuki lembah kemiskinan yang sebenarnya (neraka) dan dalam jangka waktu terlamanya.
Dan semiskin apapun seseorang secara materi, maka hanya sikap merasa cukup dengan pembagian rezeki yang diberikan Allah-lah (qona’ah) yang bisa menghatarkan mereka pada makna kekayaan sebenarnya. takkan iri kepada orang yang berlebih, takkan mencuri karena alasan telah tercukupi dan takkan tamak sehingga tak mau berbagi. sehingga ketika takdir-Nya (kematian) harus menyudahinya setelah tegaknya aturan Allah (qona’ah). maka sesunggunya itu adalah awal bahwa ia telah sampai pada puncak kekayaan yang sebenarnya (Syurga) dan dalam jangka waktu selamanya.
Benarlah, Islam tidak menisbahkan definisi kaya atau miskin dengan kepemilikan benda. Definisi serba fisik itu sangat memusingkan. Karena itu, Rasulullah menegaskan, kekayaan sejati itu ada di dada. karena Menjadi kaya atau miskin itu murni soal mental, Sehingga sangatlah layak dan pantas jika pada akhirnya Rasulullah SAW Bersabda, “Kekayaan itu bukanlah dengan banyaknya kemewahan dunia, akan tetapi kekayaan hakiki adalah kekayaan (kecukupan) dalam jiwa (hati).” [HR. Bukhari: 6446; Muslim: 1051]
dan akhirnya semua tergantung kepada kita, mau kaya selamanya atau miskin selamanya?
Wallahu a’lam Bisshawaf
Copyright Pesantren di Tasikmalaya : PESANTREN KHZ MUSTHAFA SUKAMANAH.
nice post, sangat bermanfaat sekali