Problematika Rekonstruksi Ushul Fiqih

Prolog

Belakangan ini isu pembaharuan kembali gencar terdengar. Seiring dengan bangkitnya reformasi, isu ini kembali semarak dibicarakan. Tak pelak, hal ini kemudian menjalar ke segala bidang. Baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial-budaya bahkan juga dalam ranah keilmuan dan pemikiran. Sebut saja Fikih, Ushul Fiqih, Filsafat, dan lain sebagainya. Dari contoh-contoh tersebut, dua diantaranya berada dalam ruang lingkup diskursus keislaman. Artinya, isu pembaharuan juga mengendemi dalam tatanan keagamaan serta peradaban.

Hal ini tentu tidak bisa kita pandang sebelah mata saja. Terlebih lagi, akulturasi kebudayaan antara barat dan timur, menjadi salah satu faktor yang menumbuhkembangkan fenomena ini. Dalam konteks keagamaan, Islam sebagai agama yang luwes dan fleksibel tentunya selalu up to date dengan perkembangan zaman. Syariat Islam tak pernah lekang oleh waktu. Dia akan terus tetap tumbuh dan berkembang. Disinilah peran kita sebagai akademisi muslim untuk menghidupkan kembali ajaran Islam tersebut yang oleh sebagian kalangan saat ini dianggap kaku dan jumud. Maka tak salah kiranya jika pembaharuan menjadi sebuah keniscayaan.

Dalam tulisan ini, penulis mengambil Ushul Fiqih sebagai salah satu contoh untuk ditelaah dan dikaji dalam kaitannya dengan terma pembaharuan mengingat masih minimnya pengkaji dalam bidang ini. Ushul Fiqih adalah salah satu ilmu yang sangat diperlukan oleh siapa saja yang mempunyai kepentingan di dalam proses pengambilan hukum dalam syariat Islam. Artinya, sebuah produk hukum yang dihasilkan fikih, tidak akan mudah bisa dicapai tanpa terlebih dahulu mempelajari ilmu ini.  Seorang pembaharu agama dituntut untuk memahami ilmu ini dengan baik. Para ulama telah meletakkan ilmu Ushul Fiqih ini sebagai bekal untuk menjawab setiap permasalahan yang akan terus mencuat dan berkembang sesuai dengan perubahan waktu dan tempat. Dengan demikian, selain telah mampu menjawab berbagai masalah yang terjadi pada masa silam dan pada saat ini, ilmu ini juga dipersiapkan untuk generasi masa depan. Maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Ushul Fiqih erat kaitannya dengan peradaban Islam.

Namun demikian, lantas apakah Ushul Fiqih juga harus mengalami pembaharuan seiring dengan perkembangan zaman. Menyikapi hal ini tentu bukanlah sebuah perkara yang gampang. Bahkan para ulama dan kalangan akademisi sendiri banyak yang berbeda pendapat mengenai pembaharuan dalam bidang Ushul Fiqih. Memang, ketika Fikih menghadapi perkembangan zaman dan lingkungan yang berbeda mampu berganti dan berkembang sesuai dengan perbedaan itu, akan menimbulkan pertanyaan apakah Ushul Fiqh juga dapat berubah dengan alasan yang sama dan ketika ijtihad merupakan solusi terhadap hal-hal yang baru, maka hal yang baru ini dapatkah terjadi pada Ushul Fiqh yang kebanyakan ulama beranggapan bahwa Ushul Fiqh merupakan asas dasar yang tsâbit (=tetap). Hal ini kemudian menjadi sebuah permasalah yang menarik diperbincangkan . Hal ini pula yang mendasari ditulisnya buku Isykâliyatu Tajdîd Ushûl Al-Fiqh yang berisi dialog antara Dr. Ramadhan al-Buthi dengan Dr. Abu Ya’rab Al-Marzuki seputar pembaharuan Ushul Fiqih.

Makna Pembaharuan

Membicarakan terma pembaharuan tentu perlu kita pahami kembali makna pembaharuan itu sendiri. Pembaharuan dalam bahasa Arab disebut tajdîd,  merupakan kata yang lumrah dipakai dalam diskursus keislaman. Baik itu dalam Al-Qur’an, Sunah, dan lain sebagainya. Secara etimologi, tajdîd sendiri merupakan bentuk infinitif dari kata jaddada yang artinya membuat jadi baru. Sementara kata sifatnya jadîd yang berarti baru dan lawan kata usang. Dari pengertian tersebut dapat diambil tiga poin penting, yaitu pertama : sesuatu yang diperbaharui pernah ada. Kedua : sesuatu tersebut telah berlalu beberapa waktu sehingga menjadi usang atau rusak. Ketiga : sesuatu yang telah usang itu kemudian dikembalikan lagi menjadi baru. Dengan demikian, pembaharuan yang dimaksud disini, esensinya bukan menciptakan sesuatu yang benar-benar baru dalam agama. Dari pengertian itu juga, pembaharuan disebut juga rekonstruksi yang bermakna mengembalikan seperti semula.

Sedangkan secara terminologi, terma pembaharuan atau rekonstruksi ini memiliki berbagai macam pengertian. Salah satunya seperti yang disebutkan Yusuf Qardhawi dalam bukunya Al-Fiqh Al-Islâmî bayn Al-Ashâlah wa At-Tajdîd bahwa pembaharuan merupakan pemeliharaan inti ajaran Islam , simbol-simbol, karakteristik dan sendi-sendinya serta kembali pada ajaran-ajaran yang murni seperti pada masa Rasulullah dan Khulafâ’ Ar-Râsyidîn. Pada akhirnya, pembaharuan itu mencakup tiga poin penting, yaitu pertama, memelihara inti bangunan asal dengan tetap menjaga watak dan karakteristiknya. Kedua, memperbaiki hal-hal yang telah runtuh dan memperkuat kembali sendi-sendi yang telah lemah. Ketiga, memasukkan beberapa pembaharuan tanpa mengubah watak dan karakteristik aslinya. Dari sini dapat dipahami bahwa pembaharuan bukanlah menampilkan wajah Islam yang benar-benar baru, namun lebih tepatnya merekonstruksi kembali ajarannya sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah dan diamalkan oleh para sahabat kemudian menerapkannya dengan realita saat ini. Dengan kata lain, menghidupkan kembali ajaran-ajaran Islam yang murni dari kejumudan dan stagnasi.

Oleh karena itu, maka pembaharuan merupakan sebuah upaya serta usaha untuk merekonstruksi ulang gerakan, pemikiran ataupun pemahaman keagamaan untuk menyesuaikannya dengan realita dan perkembangan zaman. Kiranya hal ini sejalan dengan kaidah ushul itu sendiri yaitu Al-Muhâfazhah ‘Alâ Qadîm Al-Shâlih wa-l-Akhdzu bi Al-Jadîd Al-Ashlah.

Karakteristik Kajian Ushul Fiqih

Ushul Fiqih merupakan sebuah ilmu dalam memahami dalil-dalil fikih secara global, bagaimana menggunakannya dalam menyimpulkan sebuah hukum serta kondisi (prasyarat) seorang mujtahid. Ilmu ini merupakan ilmu metodologi dalam proses pengambilan hukum. Sejatinya, ilmu ini mencakup tiga hal penting, yaitu : sumber  pengambilan hukum, metodenya, dan syarat-syarat mujtahid.

Sementara itu, objek kajian Ushul Fiqih adalah dalil-dalil global. Dr. Ali Jum’ah, Mufti Mesir, menekankan untuk tetap mengedepankan objek pembahasan dalam proses pembaharuan, baik itu bagi Ushul Fiqih itu sendiri, maupun dalam ilmu-ilmu yang lainnya. Selain objek pembahasan, tujuan dan manfaat ilmu ini juga patut dijadikan patokan, agar tidak melenceng dari pembahasan, lebih-lebih lagi tidak menghasilkan sebuah baru. Hal ini tentunya bisa diterima dan sesuai dengan maksud dari pembaharuan itu sendiri dimana fungsinya untuk merekonstruksi, bukan memproduksi ‘barang’ baru.

 Selain itu, dalam upaya menelisik lebih jauh tentang pembaharuan Ushul Fiqih, perlu dipahami juga karakteristik kajian dari ilmu ini. Hasan Hanafi, seorang pemikir modernis Mesir, dalam bukunya Min An-Nash Ila Al-Wâqi’ menyebutkan beberapa karakteristik umum yang dimiliki Ushul Fiqih, yaitu :

1.      Rasional. Dalam proses pengambilan hukum, Ushul Fiqih selalu mengedepankan analisis yang bersumber dari rasio seorang mujtahid. Tanpa ada analisis, sebuah produk hukum tidak mungkin bisa dihasilkan.

2.      Eksperimental. Sebuah produk hukum tidak bisa dihasilkan secara instan. dalam prosesnya, harus melalui berbagai tahapan dan pengujian agar bisa diterapkan dengan benar.

3.      Metodologis; merupakan karakteristik murni yang dimiliki Ushul Fiqih sebagai ‘alat’ dalam pengambilan hukum.

4.      Logis. Artinya, metode pemikiran yang sistematis yang dimiliki Ushul Fiqih, harus bisa diterima oleh akal sehat.

5.      Sesuai dengan tabiat manusia. Ilmu Ushul Fiqih pada dasarnya tidak terkhususkan pada agama ataupun golongan tertentu saja, namun lebih dari itu, dia merupakan ilmu yang dikaruniakan oleh Allah dan muncul dari dan berdasar pada tabiat manusia itu sendiri.

6.      Subjektif. Kesakralan wahyu mengalami pergeseran karena objek profan dan posisi ego berada di antara wahyu dan realita.

7.      Kondisional; selalu berhubungan dengan realita dan sejarah, seperti yang diungkapkan Syatibi.

8.   Praktis. Kajian Ushul Fiqih berkisar pada dalil-dalil global yang cenderung mengacu pada seruan, ajakan, ataupun larangan (perbuatan).

9.      Humanis, karena produk hukum yang dihasilkan itu sejatinya akan diterapkan kepada manusia.

10.  Autentisitas. Ushul Fiqih beserta komponennya merupakan ilmu yang murni dari Islam layaknya ilmu Ushuluddin, Kalam, dan Tasawuf.

Selain karakteristik yang telah disebutkan diatas, kiranya ada karakteristik lainnya yang perlu kita cermati ketika melakukan pembaharuan Ushul Fiqih. Ketika mengkaji Ushul Fiqih beserta komponennya, kita akan banyak menemukan teks-teks. Tentunya hal ini bisa dimaklumi mengingat objek kajian Ushul Fiqih itu sendiri seputar dalil-dalil dari teks Al-Qur’an dan Sunah. Oleh karena itu, metode kajian ini seputar analisis kebahasaan (qawâid al-lughah). Kajian analisis kebahasan dalam Ushul Fiqih setidaknya mencakup empat pokok permasalahan, yaitu :

1.      Analisis makna kata sesuai dengan bentuk kata. Seperti teks khâs yang merujuk pada makna tertentu, ataupun teks ‘âm yang merujuk kepada makna umum.  Ataupun juga merujuk pada makna yang komplek (musytarak) dan ada juga yang merujuk pada makna tunggal (murâdif).

2.      Analisis makna sesuai dengan maksud penggunaan teks. Ini bisa kita cermati pada teks yang menunjukkan makna sesuai dengan ungkapannya (haqîqî) ataupun pada teks yang menunjukkan makna yang berbeda dengan ungkapannya (majâz) baik itu karena ada ada hubungan dengan teks lain ataupun ada indikasi (qarînah) yang menghalangi dari pemaknaan sebenarnya.

3.      Analisis teks berdasarkan kekuatannya dalam menunjukkan makna. Dalam kategori ini, teks dibagi menjadi dua yaitu, teks yang menggambarkan  ketidak-jelasan (alfâzh ghairu al- wâdhih)  dan teks yang mengungkapkan kejelasan makna (alfâzh al-wâdhih). Termasuk dalam kategori pertama semisal mutasyâbih, mujmal, musykil, dan khâfi. Sedangkan yang termasuk dalam kategori kedua seperti muhkam, mufassar, nash, dan zhâhir.

4.      Analisis teks dari segi cara pengungkapan makna yang dikandungnya. Seperti mantûq dan mafhûm yang dipakai oleh ulama syafi’iyah, malikiyah, dan hanabilah, serta ‘ibârat an-nash, isyârat an-nash, dalâlat an-nash, dan dalâlat al-iqtida’ yang digunakan ulama hanafiah.

Analisis kebahasaan ini kiranya merupakan sesuatu yang urgen dan mengkajinya adalah sebuah keniscayaan karena teks akan menyingkap sisi historis yang menyelimutinya. Hal ini pula yang kemudian coba diterapkan Hasan Hanafi ketika mengkaji Ushul Fiqih.

Selain dari segi kebahasaan, pembaharuan Ushul Fiqih juga dapat dilakukan dengan mengkaji lebih dalam komponen Ushul Fiqih itu sendiri. Dalam hal ini lebih dititikberatkan pada metode pengambilan hukum yang berupa analogi, baik itu qiyas dan istihsan. Metode ini merupakan metode analisa substantif dimana dalam proses konklusi hukum berdasarkan adanya kesamaan ‘illat(=permasalahan). Istihsan sendiri pada hakikatnya merupakan dua kajian analogi. Kedua metode ini-qiyas dan istihsan- merupakan metode ijtihad yang telah dipakai oleh para sahabat sejak zaman kenabian. Meski menduduki peringkat keempat dalam setelah Al-Qur’an, Sunah, dan Ijma sebagai sandaran pengambilan hukum, qiyas dinilai sebagai metode ijtihad yang prioriti bagi seorang mujtahid, mengingat terbatasnya teks-teks wahyu sementara permasalahan dalam masyarakat terus berkembang. Terlebih lagi, banyak ulama berpendapat bahwa salah satu sebab kejumudan saat ini adalah ketika ijtihad dianggap telah tertutup. Maka, tak salah jika metode ijtihad patut dicermati lagi sebagai upaya untuk melakukan pembaharuan.

Metode lain yang bisa kita lakukan, yaitu dengan melakukan kajian seputar maqâshid asy-syarîah yang erat kaitannya dengan aspek kemaslahatan. Di dalam Ushul Fiqih sendiri dikenal tiga jenis maslahat, yaitu : (1) maslahat mu’tabarah; aspek kemasalahatan yang terjangkau atau berdasar dari pernyataan eksplisit teks  , (2) maslahat mursalat; aspek kemasalahatan yang tidak terjangkau dari pernyataan eksplisit teks, namun masih bisa diakomodir dari teks tersebut  , (3) maslahat maskût; aspek kemaslahatan yang sama sekali tidak terjangkau dan tidak bisa diakomodir dari teks.

Pandangan dan Usaha Ulama Kontemporer Seputar Pembaharuan Ushul Fiqih

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, pembaharuan Ushul Fiqih merupakan sebuah perkara yang rumit. Di satu sisi, ada yang berpendapat bahwa pembaharuan Ushul Fiqih merupakan sebuah tuntutan. Namun di sisi lain, ada pula yang tidak sepakat. Hal ini bisa kita temui ketika mencermati tulisan-tulisan yang membahas seputar terma ini.

Problem ini pada dasarnya mengacu pada dua pokok permasalah dimana yang pertama ketika Ushul Fiqih dianggap sebagai suatu ilmu yang suci dan qath’i (=pasti) maka secara tidak langsung akan beranggapan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Kalaupun perlu diperbaharui, maka hanya pada formatnya saja, bukan pada substansinya.

Sementara yang kedua, jika Ushul Fiqih dianggap relatif (=zhannî) dimana banyak didapati perbedaan pendapat di dalam seperti semisal kehujjahan qiyas, maslahat mursalah, istihsan, dan lain sebagainya,  maka pembaharuan Ushul Fiqih merupakan sebuah tuntutan dan keharusan. Sejalan dengan pendapat ini, Yusuf Qardhawi memandang perlu adanya pembaharuan dalam Ushul Fiqih.

Dr.Ramadhan Al-Buthi sendiri, berpendapat bahwa Ushul Fiqih tidak perlu diperbaharui lagi, namun yang perlu ditinjau ulang yaitu pemahaman terhadap syariat itu sendiri yang menyebabkan terjadinya kejumudan. Lemahnya pemahaman terhadap metodologi Ushul Fiqih menjadi sebab kemunduran, bukan karena tertutupnya pintu ijtihad. Karenanya beliau menganjurkan untuk mendalami lebih dalam substansi Ushul Fiqih itu sendiri sehingga dengan sendirinya ijtihad itu akan mendongkrak kembali posisinya yang telah terpinggirkan seakan-akan tertutup.

Sejatinya, Ushul Fiqih dalam perjalanannya telah mengalami perkembangan. Artinya, sejak awal kemunculannya hingga saat ini, Ushul Fiqih telah melalui proses pembaharuan baik itu dari segi metodologi maupun dari segi kodifikasi. Imam Syafi’i sebagai peletak batu pertama dalam sejarah Ushul Fiqih dengan Magnum Opus-nya yang terkenal Ar-Risalah, menulis tentang ushul fiqh dengan metodologi yang sangat sederhana.  Jauh dari kesan sistematis. Meski demikian, buku ini sangat padat dan berbobot. Kelak, buku ini menjadi sandaran para ulama-ulama selanjutnya dalam penulisan Ushul Fiqih. Dalam tahapan selanjutnya, Ushul Fiqih dikembangkan lagi oleh Imam Haramain ( 478 H ) dengan bukunya Al-Burhân fî Ushûl Al-Fiqh dan Imam Ghozali ( 505 H ) dengan Al-Mustashfâ-nya dan di susun secara lebih sistematis dan apik oleh Imam Fakhru Rozi ( 606 H ) dengan karyanya Al-Mahshûl fî ‘Ilm Al-Ushûl.

Hingga saat ini, banyak bermunculan buku-buku ushul fiqh yang metodologi penulisannya menggunakan pendekatan-pendekatan tertentu seperti pendekatan yang memudahkan para penuntut ilmu, atau yang menekankan pada penelitian, atau yang cenderung kepada studi komparatif, ataupun yang cenderung untuk mengambilkan fungsi awal ushul fiqh yang digunakan untuk memahami Al Qur’an dan Hadist. Maka, tidaklah berlebihan jika kita sebut bahwa Ushul Fiqih berkembang dan berubah.

Namun demikian, kiranya kita perlu membuka mata terhadap usaha-usaha ulama modern yang telah berusaha menampilkan sebuah gagasan baru dalam tubuh Ushul Fiqih, terlepas dari berbagai pandangan yang bertolak belakang dari hal tersebut.

Salah satunya yaitu Dr. Hasan At-Turabi. Gagasan-gagasan beliau mengenai pembaharuan Ushul Fiqih mencakup tiga poin penting, yaitu 1. Mengedepankan orientasi praktis yang merupakan karakteristik dasarnya daripada orientasi abstrak yang selalu mengarah pada perdebatan tanpa ujung dengan menyoroti realita yang ada, 2. Mengembangkan metodologi Ushul Fiqih itu sendiri agar selalu relevan dengan realita, 3. Memperluas komponen ijtihad (qiyâs dan Istishhâb). Namun demikian, gagasan yang ditawarkan beliau ini banyak mendapat tanggapan. Dr. Ali Jum’ah sendiri menilai, gagasannya ini terkesan buram, dan agak melenceng dari substansi. Hal senada juga diamini oleh Dr. Abdussalam Balaji.

Sementara itu, usaha lainnya juga coba ditawarkan oleh Dr. Muhammad Dasuki. Dalam gagasannya, Dasuki menawarkan pembaharuan Ushul Fiqih pada beberapa pokok pikiran, yaitu : 1. Membuang masalah-masalah yang tidak ada kaitannya dengan ushul fiqh, 2. Pembelajaran maqashid asy-syariah yang komprehensif, 3. Pengembangan pemahaman terhadap dalil-dalil, 4. Mengaplikasikan setiap masalah yang dibahas dengan contoh-contoh konkrit yang dibutuhkan di masyarakat.

Sedangkan Dr. Jamaluddin ‘Athiyyah menyoroti pembaharuan pada beberapa permasalahan yaitu : 1. Pengembalian bentuk ilmu tersebut, 2. Pengaplikasian metode dalam ilmu-ilmu sosiologi dan psikologi, 3. Pengaplikasian ilmu sosiologi pada Ushul Fiqih.

Dari pemaparan di atas, setidaknya dapat dikonklusikan bahwa pembaharuan Ushul Fiqih diperlukan pada permasalahan sebagai berikut :

–          Pembatasan masalah yang dibahas dalam Ushul Fiqih

–          Membuang segala permasalahan yang tidak berhubungan dengan ilmu ini

–          Pengembangan metodologi

–          Pengaplikasiannya

–          Rekonstruksi fitur

Selain permasalahan tersebut, ada pula permasalahan lainnya yang juga perlu diperbaharui yang ditawarkan oleh ulama-ulama kontemporer meski kebanyakan juga menyoroti lima permasalahan sebelumnya. Permasalah lainnya, seperti : penyederhanaan ibarat, pemahaman yang komprehensif pada istilah-istilah yang sulit dipahami, fokus pada pembahasan seputar maqâshid asy-syarîah.

Setidaknya, dari beberapa tawaran yang diajukan para ulama kontemporer tersebut, pembaharuan Ushul Fiqih mencakup tiga pokok pembahasan, yaitu : 1. Seputar istilah dan epistemologi, 2. Metodologi, dan 3. Batasan masalah di dalamnya.

Epilog

Sebagai salah satu warisan khazanah Islam klasik, Ushul Fiqih merupakan ilmu yang sangat mulia yang memiliki peranan penting dalam memajukan peradaban umat. Fungsinya sebagai jawaban bagi problematika kekinian diharapkan mampu membumikan dan menumbuhkan kembali syariat Islam yang telah kehilangan ruhnya akibat kejumudan keterbelakangan. Dengan merekonstruksi kembali pola pikir dan elemen-elemen didalamnya selayaknya bisa lebih kontekstual. Dengan demikian, nilai-nilai luhur yang dimiliki Islam akan kembali tumbuh dan terasa peranannya.

Namun demikian, pemahaman terhadap esensi pembaharuan itu sendiri haruslah komprehensif dan mendalam. Dengan tetap berpedoman pada kaidah Al-Muhâfazhah ‘Alâ Qadîm Al-Shâlih wa-l-Akhdzu bi Al-Jadîd Al-Ashlah, usaha pembaharuan itu selayaknya tidak melenceng dari hakikatnya.

Oleh : Abdul Ghani.

Copyright Pesantren di Tasikmalaya : PESANTREN KHZ MUSTHAFA SUKAMANAH.

One Response to Problematika Rekonstruksi Ushul Fiqih

    Tinggalkan Balasan ke Wahyumy Hiemmaningsih Batalkan balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *