Isro Mi’raj

Bulan Rajab datang lagi, ia hadir untuk mengingatkan kita, dimana pada bulan ini, 1388 tahun yang lalu, kewajiban shalat lima waktu mulai disyari’atkan. Pada tahun 621 M itu, peristiwa supra natural Isra Mi’raj, terjadi setahun sebelum peristiwa hijrah beliau ke Madinah (622 M). Pada tahun itu Nabi dalam suasana berkabung. Meninggalnya Abu Thalib yang 40 tahun lebih mendampingi dan membelannya, disusul oleh wafatnya Khadijah, isteri tercinta yang lebih dari 25 tahun menyokong da’wahnya, diperberat oleh perlakuan kafir Quraisy yang semakin semena-mena, maka Allah menghibur beliau dan seakan-akan berkata, “Kalaulah penduduk bumi menolak kehadiranmu dan menentang ajaranmu, maka tidak demikian dengan penduduk langit.” Maka peristiwa Isra Mi’raj pun terjadi. Perjalanan Nabi Muhammad dari Mekah ke Bait al- Maqdis, kemudian naik ke Sidrat Al- Muntaha, bahkan melampauinya, serta kembalinya dalam waktu yang sangat singkat, merupakan tantangan terbesar sesudah disodorkannya Al- Quran kepada umat manusia. Demikian M Quraisy Shihab dalam al- Misbahnya. Peristiwa ini, lanjutnya, membuktikan bahwa ilmu dan kekuasaan Allah menjangkau, bahkan mengatasi yang finite (terbatas) dan infinite (tak terbatas) tanpa terbatas ruang dan waktu. Kaum empiris dan rasionalis, yang melepaskan diri dari bimbingan wahyu dapat saja menggugat: bagaimana mungkin kecepatan yang melebihi kecepatan cahaya (batas kecepatan tertinggi dalam continuum empat dimensi) ini dapat terjadi? Bagaimana mungkin lingkungan material yang dilalui oleh nabi tidak dapat menimbulkan gesekan-gesekan panas yang merusak tubuh beliau sendiri? Bagaimana mungkin beliau dapat melepaskan diri dari daya tarik bumi? Ini tidak mungkin terjadi karena tidak sesuai dengan hukum-hukum alam bahkan tidak dapat dibuktikan dengan hukum-hukum logika. Demikian kira-kira kilah mereka yang tidak mempercayai peristiwa ini. Supra rasional yang rasional Pendekatan yang paling tepat untuk memahami peristiwa isra mi’raj adalah pendekatan imani. Inilah yang ditempuh sahabat Abu Bakar al- Shiddiq ra. seperti yang tergambar dalam ucapannya, “Apabila Muhammad yang memberitakannya, pastilah benar adanya.” Namun tulisan ini berusaha memahami peristiwa isra mi’raj melalui bukti-bukti ilmiah yang dikemukakan oleh al- Quran. Kenyataan ilmiah menunjukkan bahwa setiap sistim gerak mempunyai penghitungan waktu yang berbeda dengan sistim gerak yang lain. Benda padat membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan suara. Suara pun membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan cahaya. Hal ini mengantarkan para ilmuwan, pilosof dan agamawan untuk berkesimpulan bahwa, pada akhirnya, ada sesuatu yang tidak membutuhkan waktu untuk mencapai satu sasaran apapun yang dikehendaki- Nya. Sesuatu itu adalah Allah swt. Dia yang, ketika menghendaki sesuatu cukup dengan mengatakan, “kun” maka terbuktilah. “Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: “kun (jadilah)”, maka jadilah ia.” (QS. An- Nahl [16] : 40). Maka peristiwa Isra Mi’raj adalah peristiwa supra rasional yang rasional. Selanjutnya, apa yang dinamakan hukum alam tidak lain adalah a summary of statistical everages (ikhtisar dari pukul rata statistik). Albert Einstein dengan tegas mengatakan bahwa semua yang terjadi di alam ini diwujudkan oleh superior reasoning power yang dalam al- Quran disebut al-‘aziz al-‘alim’, Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Mengetahui. Hal ini sesuai dengan ayat, “Dan kepada Allah sajalah bersujud segala apa yang berada di langit dan semua makhluk yang melata di bumi dan (juga) para ma]aikat, sedang mereka (malaikat) tidak menyombongkan diri. Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).” (QS. Al- Nahl [16] : 49-50). Ayat ini, menurut M. Quraish Shihab dalam membumikan al- Quran, menjadi pengantar dari penjelasan al- Quran tentang isra mi’raj. Dari segi yang lain, dalam kumpulan ayat-ayat yang mengantarkan uraian al- Quran tentang peristiwa isra dan mi’raj ini, dalam surat al- Isra sendiri, berulangkali ditegaskan tentang keterbatasan pengetahuan manusia serta sikap yang harus diambilnya menyangkut keterbatasan tersebut. Simaklah ayat-ayat berikut: “Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.” (QS 16:8), “Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. 16:74), “dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. 17:85) Itulah sebabnya, Allah pun berfirman,” Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al- Isra [17] :36) Apa yang disebutkan dalam al- Quran tentang keterbatasan pengetahuan manusia ini diakui oleh para ilmuwan pada abad 20. Teori black holes misalnya, menyatakan bahwa pengetahuan manusia tentang alam hanyalah mencapai 3% saja, sedangkan sisanya yang 97% adalah di luar kemampuan pengetahuan manusia. Kalau demikian, seandainya pengetahuan seseorang belum atau tidak sampai pada pemahaman secara ilmiah atas peristiwa isra dan mi’raj ini, maka usaha untuk membuktikannya secara ilmiah menjadi tidak ilmiah lagi. Asas filososfis dari ilmu pengetahuan adalah trial and error, yakni observasi dan eksperimentsi terhadap berbagai fenomena alam. Padahal, peristiwa isra dan mi’raj hanya terjdi satu kali saja. Artinya, peristiwa agung ini tidak lagi dapat dicoba, diamati, dan dilakukan eksperimentasi. Itulah sebabnya mengapa kierkegaard, tokoh eksistensialisme, menyatakan: ”Seseorang harus percaya bukan karena ia tahu, tetapi karena ia tidak tahu.” Dan itu pula sebabnya Immanuel Kant berkata: “saya terpaksa menghentikan penyelidikan ilmiah demi menyediakan waktu bagi hati saya untuk percaya.” Dan itu pula sebabnya mengapa ‘oleh-oleh’ yang dibawa oleh nabi dari perjalanan isra dan mi’raj adalah kewajiban shalat ; sebab shalat sarana terpenting untuk menyucikan jiwa dan ruhani. Penutup Kita percaya dan bahkan yakin akan kebenaran peristiwa isra mi’raj ini. Bagi kita, tiada perbedaan antara peristiwa yang terjadi sekali dan peristiwa yang terjadi berulang-ulang, selama semua itu diciptakan dan berada di bawah pengawasan dan pengaturan Allah swt. Semoga selalu mampu menyuarakan keyakinan tenang adanya ruh intelektual Yang Mahaagung, Allah swt, juga mampu menyediakan banyak waktu untuk memuja dan sekaligus mengabdi kepada- Nya. Diakhir penuturan isra mi’raj diatas, sebagai bentuk ungkapan menyambut bulan rajab, sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat dalam doa’nya, mari kita baca “ Allahumma Bariklana fi rojaba wa sya’bana wa baligna fi Ramadhan, Ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban dan pertemukan kami di bulan Ramadhan. * Penulis adalah salah seorang santri pondok pesantren KH Zainal Musthafa Sukamanah

Oleh: Edi Bukhori

2 Responses to Isro Mi’raj

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *